Caleg Instan, Pada Bingung Masuk Dunia Politik

By Hendri - 3/16/2019

  • Sarung Suvenir Favorit Caleg
  • Cara Berdemokrasi Yang Tidak Mencerdaskan
  • Tidak Edukatif dan Efektif

  • Banyaknya Caleg Instan
  • Akhirnya Bingung Masuki Dunia Politik
  • Masyarakat Harus Selektif Memilih Caleg

Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Riau (UR), Saiman Pakpahan
Caleg harus berproses menjadi seorang kader yang berangkat dari hati sehingga tidak bingung pada saat menjalankan proses politik yang sebenarnya.

PEMILU Legislatif 2019 tinggal menghitung hari. Para Caleg sudah turun gunung dan sibuk bergerilya mempromosikan diri. Satu di antara trik memikat hati konstituen adalah dengan memberikan suvenir. Sarung adalah salah satu favorit Caleg, selain mukena, jilbab, dan lainnya.

Hal itu diketahui dalam item Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Caleg yang diterima KPU.

Dari Kacamata Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Riau (UR), Saiman Pakpahan, memberikan sarung sebagai suvenir kepada para calon pemilih memang salah satu upaya yang sangat mudah untuk dilakukan oleh para Caleg karena memiliki harga yang relatif lebih murah. Apalagi pemilih tradisional yang saat ini meyoritasnya adalah beragama Islam, yang mungkin mereka anngap sarung adalah alat yang mungkin cukup mudah memperoleh banyak suara.

Ada dua hal yang menjadi respon Saiman akan fenomena "Sarung Sebagai Suvenir Favorit Caleg" guna menarik hati masyarakat untuk memilih.

Pertama, ini adalah ruang yang tidak edukatif diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap para Calon Anggota Legislatif. Terkesan ada pembiaran oleh pihak pemangku kepentingan, dan terkesan adanya pengelolaan terhadap politik transaksional.

Kedua, memberikan suvenir atau dalam bentuk apapun kepada pemilih oleh Caleg dengan harapan dapat digantikan dengan suara pada saat pemilu nanti, dinilai sebagai cara politik demokrasi yang tidak bagus dan tidak akan pernah mendapatkan apresiasi. Tapi herannya, KPU malah terperangkap dan malah melakukan pembiaran dengan cara memberikan ruang.

Memberikan sarung sebagai bentuk suvenir bukanlah cara yang efektif untuk menarik perhatian para pemilih di masa sekarang ini. Politik atau cara seperti ini harusnya dikubur dalam-dalam oleh pemerintah dengan mengalihkannya ke cara yang lebih sehat seperti halnya menentut kepada para Caleg untuk lebih menunjukkan ide dan gagasan yang positif guna mencerdaskan para pemilih.

Bila ini memang benar-benar dilakukan, dipastikan masyarakat menjadi pragmatis. Hal ini tidak akan pernah menjadi sebuah proses komunikasi politik yang ideologis antara masyakat dan para Caleg yang berlaga pada pemilu 17 April 2019.

Pemberian ruang bagi para Caleg untuk memberikan suvenir kepada para calon pemilih, adalah sebuah bentuk kegagalan yang diperlihatkan langsung oleh KPU dan pemerintah. Cara semacam ini justru menciptakan pemilu yang tidak sehat serta tidak mencerdaskan para pemilih dalam menentukan pilihannya.

Terlebih lagi, masyarakat yang selama ini telah terbiasa menerima segala sesuatu di momen-momen pesta demokrasi, akan semakin terbiasa lagi menerima segala sesuatu itu dengan adanya fenomena sarung sebagai suvenir favorit Caleg.

Caleg saat ini juga tidak sedikit yang salah kaprah. Dalam arti, tak sedikit dari mereka yang menginginkan kursi di legislatif, datang secara tiba-tiba untuk masuk sebagai kader partai tanpa perlu proses panjang.

Domain pemilih keharusannya berada pada partai politik (parpol). Maka, parpol harus bijak dalam menentukan kadernya, dan melakukan penyaringan dengan baik pada saat kaderisasi dilakukan.

Namun, hal itu justru malah terbalik. Partai saat ini banyak yang tidak menjalankan tanggung jawabnya sesuai tugas pokok dan fungsinya, dengan mendaftarkan para Caleg yang lahir secara instan atau tidak dari orang-orang yang telah berproses lama dalam organisasi parpol. Maka tak heran sekarang ini banyak Caleg yang bingung ketika masuk ranah politik yang sebenarnya.

Seorang kader partai yang telah melakukan prosesnya di partai dalam waktu yang lama, serta berangkat dari idiologi sebuah parpol, tentu akan dengan mudah menjalankan kehidupan politik yang sedang berjalan. Terlebih lagi, kader yang memang berawal dari hati dan tanpa dilatarbelakangi keinginan berlebihan mendapatkan jabatan, tentu akan lebih mudah mengambil hati masyarakat, dan bisa menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dalam menentukan pilihannya pada saat pemilu tiba.

Keder partai yang mencalonkan diri sebagai Caleg pada pemilihan umum wajib memiliki ideologi dari partainya. Semisal, suatu partai memiliki ideologi nasionalis, maka para Caleg harus berbicara hal itu secara terus menerus di hadapan masyarakat, bukan malahan bergerak di luar itu.

Dari itu semua, Caleg harus berproses menjadi seorang kader yang berangkat dari hati sehingga tidak bingung pada saat menjalankan proses politik yang sebenarnya.

Terakhir, bagi masyarakat pada saat pemilu tiba, diharapkan bijak dan selektif dalam menentukan pilihan, mampu melihat colon yang berpihak kepada kepentingan orang banyak, dan memilih Caleg yang bisa menolok aktivitas yang sama sekali tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. (*)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar